Minggu, 18 Oktober 2015

Filsafat Ilmu: REFLEKSI 6 Filsafat Menembus Ruang dan Waktu

Filsafat Menembus Ruang dan Waktu
Venti Indiani | 15709251057


Berikut merupakan refleksi dari perkuliahan Filsafat Ilmu sesi kedua oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. hari Selasa, 13 Oktober 2015 pukul 11.10 - 12.50 WIB di R. 305B Gedung pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Sesi ini dilaksanakan dengan bentuk sebagai beikut, mahasiswa mengajukan pertanyaan yang akan dijawab langsung oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A.

Pertanyaan pertama diajukan oleh Sdri. Azmi mengenai jodoh, apakah jodoh bersifat relatif?
Prof. Dr. Marsigit, M.A.:
Berfilsafat itu adalah olah pikir, maka kalau dilihat dari tataran dimensinya, maka dimensi paling bawah itu material, diatasnya formal, diatas formal itu normatif, diatas normatif itu spritual. Dimensi yang paling tinggi adalah spritual. 

Maka masalah jodoh ini harus dijelaskan dari sisi perkawinan, apakah dari sisi percintaan, apakah dari sisi pernikahan.Sehebat-hebat pikiranku tidakan mampu menjelaskan perasaanku. Walaupun aku setengah manusia setengah dewa seperti raja Thailand yang dianggap setengah dewa oleh rakyatnya, diapun tidak mampu memikirkan semua perasaan hatinya. Itu pertanda pikiran kita tidak akan pernah menjangkau spritualisme secara total, namun hanya sebagian kecil saja. Sehebat-hebat tulisanku tidak akan mungkin mampu menulis apa yang aku pikirkan, apa yang aku ucapkan. Sehebat-hebat tindakanku, langkahku segesit apapun, selincah apapun bak pendekar, tidaklah mungkin melaksanakan semua tulisannku, apalagi kata-kataku, apalagi pikiranku, apalagi hatiku. Pernikahan merupakan struktur lengkap. Ada materialnya, ada formalnya, ada normatifnya, dan ada spritualnnya. Jadi ada bagian dari pernikahan anda itu, dimana anda tidak mampu memikirkannya. Karena kita tidak mampu memikirkannya, maka selesaikan dengan spiritual, tetapkanlah dengan doa. Spritual itu dari langit turun ke bumi sedangkan filsafat hanya di bumi, bahkan menggapai langit pun tidak akan pernah sampai. Maka barang siapa menghadapi urusan langit dengan bumi, namun hanya berangkat dari bumi saja maka akan banyak salahnnya. Contohnya menerjemahkan jodoh itu sebagai cinta, yang penting cinta dulu perkara menikah belakangan. Nikah kan urusannya ada administrasi, wawancara, undangan, KTP, dll maka yang penting kita saling cinta ya sudah selesai, mari kita hidup bersama. Ketika punya anak tiga siapa tau sang ayah ini sakit dan kemudian sembuh lalu menikah. Apakah kasus seperti ini ada? Jawabannya ya ada saja. Hal tersebut bisa saja terjadi ketika kita memandang pernikahan dari sisi dunia saja atau dari sisi pikiran saja. Contoh lain, ketika Aku (Prof. Dr. Marsigit, M.A.) kedatangan profesor dari luar. Mengapa setiap kuliah harus diawali dengan doa? Apa hubungan matematika dengan doa? Heran profesor tersebut, karena valuenya sudah turun kebumi kemudian lupa unsur spritualnnya. Manusia lahir itu punya potensi untuk menikah. Jika manusia tidak mau menikah itu urusan lain tetapi sebetulnya punya potensi. Potensi pada tumbuhan jika dinaikan lagi maka jadi hewan sudah naluri, kemudian jika dinaikan lagi menjadi manusia yaitu intuisi. Jadi bahasa yang digunkana ini sesuai dengan siapa kita berbicara. Kata-kata yang menyesuaikan dengan keadaan itulah yang disebut menembus ruang dan waktu. Sehingga orang cerdas dalam filsafat adalah orang yang sopan dan santun terhadap ruang dan waktu.


Pertanyaan kedua diajukan oleh Sdri. Aida mengenai tujuan hidup, bagaimana jika tujuan hidup yang kita targetkan tidak tercapai?
Prof. Dr. Marsigit, M.A.:
Tujuan itu adalah idealis. Idealis itu sesuatu yang ada dalam pikiran kita. Antara  fakta dan pikiran belum tentu sinkron. Sekarang bagaimana terpenuhi dan tidak terpenuhi dari idealis atau tujuan itu. Jadi banyak prespektif dari sisi filsafat untuk mendekatinya. Misalnya, dari sisi tesis dan anti tesisnya. Usaha, berfikir, atau hidup itu tidak lain dan tidak bukan dari dua unsur yang kita sintesiskan. Misalnya sintesis antara berhasil dan tidak berhasil, sintesis antara kenyataan dengan tujuannya, takdir dan faktanya terus begitu, antara sehat dengan sakit. Jika dinaikan  dalam ranah spritual maka yang dipikirkan manusia itu semuanya bersifat relatif. Tidak ada yang bersifat absolut karena yang absolut itu hanya kuasaNya. Karena relatif maka manusia tidak mengerti bahwa kriteria keberhasilan yang dikehendaki itu punya perspektif yang berbeda-beda. Misalnya setelah dia gagal disuatu tempat kemudian dia bersifat tawakal, berdoa, energi masih bertahan, tetap ada usaha dan seterusnya. Dia menemukan sebuah keberhasilan dengan segmen yang berbeda dan dengan karakter yang berbeda tetapi maknanya jurtru berlipat ganda. Terkadang pada saat itu kita merasa sulit. Termaksud menunda perkara, menunda aktifitas,  atau menunda sikap. Jadi belum terpenuhi itu sebenarnya sangat relatif. Oleh karena sangat relatif maka kita harus hati-hati dalam mengambil kesimpulan. Kesimpulan yang kita ambil sebaiknya positive thingking dengan berucap “Alhammdullillah Allah Telah memberikan nikmat kepada saya”. Jangan sampai kesimpulannya negatif thingking pada Tuhan. Itu jika diturunkan pada filsafat itu bisa menjadi penyakit filsafat. Penyaikit filsafat jika dinaikan juga menjadi penyakit spritual sebab berpikir negatif kepada Tuhan. Dalam filsafat biasa disebut “nggenge mongso” yang artinya mendahului kehendak Tuhan. Masalah nggenge mongso yang artinya mendahului kehendak tuhan sangat krusial sekali, dan jika dilihat dari dimensi ruang dan wakru  orang nggenge mongso berarti berfikir, bertindak, bersikap tidak sesuai dengan ruang dan waktu. Jika diturunkan secara material maka dia tidak sadar telah melakukan pemerkosaan, ternyata anda telah berlaku dzolim karena tidak sadar ruang dan waktu. Maka dari itu janganlah tergesa-gesa mengkalaim tidak berhasil. Itulah perjuangan berfilsafat, perjuangan mereflesikan diri, bagaimana mengerti bahwa saya itu belum mengerti.


Pertanyaan ketiga diajukan oleh Sdri. Evvy, mengapa matematika murni disebut koherentisme?
Prof. Dr. Marsigit, M.A.:
Matematika murni itu hanya menyusun defenisi, aksioma, kemudian teorema. Sampai seribu satu yang disusun teorema saja terus. Akan tetapi teorema yang keseribupun harus tidak boleh bertentangan dengan teorema pertama, teorema itu harus identik. Yang dipentingkan disini adalah konsisten bahasa filsafatnya koherentisme dan lawannya adalah yang cocok dengan ruang dan waktu yaitu korespondensi. Jadi didalam pikiranmu koherentis dan didalam penglihatanmu koresponden. Dalam matematika selalu dimulai dengan memisalkan. Memisalkan tidak perlu cocok dengan kenyataan karena dalam matematika yang penting adalah logika. Contohnya “saya memisalkan jilbab berwarna kuning, dan Sdri Azmi memakai jilbab maka menurut logika saya mba azmi memakan jilbab kuning, walau kenyataannya warnanya biru” . Logika saya benar dan konsisten itulah matematika. Itulah yang ditentang oleh Immanuel Kant karena menurutnya ilmu harus berdasarkan pikiran dan pengalaman. Maka dalam berfilsafat harus bereksperimen. Bisakah kita hidup dengan pikiran saja? Dan sebaliknya bisakah kita hidup dengan pengalaman saja? Mari kita pikirkan. Adakah contoh tentang ini? Contohnya seperti jilbab tadi, jika hanya menggunakan logika saja ternyata salah, sedangkan melalui pengalaman saja mengatakan bahwa jilbab tersebut berwarna biru. Bagaimana membuktikannya kalau itu berwarna biru? Bagaimana memvalidasinya? Sebenar-benarnya hidup itu ternyata interaksi antara pikiran dan pengalaman maka dari itu matematika disebut koherentisme.


Pertanyaan terakhir diajukan oleh Sdr. Heru, bagaimana para filsuf menjawab ketidakpastian dalam hidupnya?
Prof. Dr. Marsigit, M.A.:
Persoalan filsafat hanya ada dua yaitu: 1.jika yang kau pikirkan ada dalam pikiranmu maka yang menjadi persoalan adalah bagaimana engkau menjelaskan pada orang lain; dan 2.jika engkau memikirkan yang ada diluar pikiranmu maka yang menjadi pertanyaan bagaimana engkau memahaminya. Sebenar-benar yang terjadi dalam filsafat ialah langkahku, penglihatanku, ucapanku sedang dalam proses membangun hidupku. Yang memiliki bermiliar-miliar sifat yang salah satunya adalah cintaku. Sebagai contoh “mengapa mahasiswa ada di sini? mahasiswa menjawab sedang menunggu pembimbing. Jika saya tidak disini dan pembimbing saya datang maka pembimbing saya tidak percaya jika aku disini menunggu beliau. Maka keberadaan saya disini merupakan usaha dalam membangun suatu kepercayaan”. Jadi sebenarnya yang dibangun itu semua yang ada dan yang mungkin ada, misalnya membangun hubungan, kepercayaan, hidup, dan seterusnya.


Demikian refleksi pada sesi kedua perkuliahan Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. hari Selasa, 13 Oktober 2015. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari apa yang kita pelajari. Semoga Allah Yang Maha Baik selalu mempermudah kita untuk tetap sopan dan santun pada ruang dan waktu. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar