Filsafat Menembus Ruang dan Waktu
Venti
Indiani | 15709251057
Berikut merupakan refleksi dari perkuliahan
Filsafat Ilmu sesi kedua oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. hari Selasa, 13 Oktober
2015 pukul 11.10 - 12.50 WIB di R. 305B Gedung pascasarjana Universitas Negeri
Yogyakarta. Sesi ini dilaksanakan dengan bentuk sebagai beikut, mahasiswa mengajukan
pertanyaan yang akan dijawab langsung oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Pertanyaan pertama diajukan oleh Sdri.
Azmi mengenai jodoh, apakah jodoh
bersifat relatif?
Prof.
Dr. Marsigit, M.A.:
Berfilsafat itu adalah olah pikir, maka
kalau dilihat dari tataran dimensinya, maka dimensi paling bawah itu material,
diatasnya formal, diatas formal itu normatif, diatas normatif itu spritual.
Dimensi yang paling tinggi adalah spritual.
Maka masalah jodoh ini harus
dijelaskan dari sisi perkawinan, apakah dari sisi percintaan, apakah dari sisi
pernikahan.Sehebat-hebat pikiranku tidakan mampu
menjelaskan perasaanku. Walaupun aku setengah manusia setengah dewa seperti
raja Thailand yang dianggap setengah dewa oleh rakyatnya, diapun tidak mampu
memikirkan semua perasaan hatinya. Itu pertanda pikiran kita tidak akan pernah
menjangkau spritualisme secara total, namun hanya sebagian kecil saja. Sehebat-hebat tulisanku tidak akan
mungkin mampu menulis apa yang aku pikirkan, apa yang aku ucapkan. Sehebat-hebat
tindakanku, langkahku segesit apapun, selincah apapun bak pendekar, tidaklah
mungkin melaksanakan semua tulisannku, apalagi kata-kataku, apalagi pikiranku,
apalagi hatiku. Pernikahan merupakan struktur lengkap. Ada materialnya, ada
formalnya, ada normatifnya, dan ada spritualnnya. Jadi ada bagian dari
pernikahan anda itu, dimana anda tidak mampu memikirkannya. Karena kita tidak
mampu memikirkannya, maka selesaikan dengan spiritual, tetapkanlah dengan doa. Spritual
itu dari langit turun ke bumi sedangkan filsafat hanya di bumi, bahkan menggapai
langit pun tidak akan pernah sampai. Maka barang siapa menghadapi urusan langit
dengan bumi, namun hanya berangkat dari bumi saja maka akan banyak salahnnya. Contohnya
menerjemahkan jodoh itu sebagai cinta, yang penting cinta dulu perkara menikah
belakangan. Nikah kan urusannya ada administrasi, wawancara, undangan, KTP, dll
maka yang penting kita saling cinta ya sudah selesai, mari kita hidup bersama.
Ketika punya anak tiga siapa tau sang ayah ini sakit dan kemudian sembuh lalu
menikah. Apakah kasus seperti ini ada? Jawabannya ya ada saja. Hal tersebut
bisa saja terjadi ketika kita memandang pernikahan dari sisi dunia saja atau
dari sisi pikiran saja. Contoh lain, ketika Aku (Prof. Dr. Marsigit, M.A.)
kedatangan profesor dari luar. Mengapa setiap kuliah harus diawali dengan doa?
Apa hubungan matematika dengan doa? Heran profesor tersebut, karena valuenya sudah
turun kebumi kemudian lupa unsur spritualnnya. Manusia lahir itu punya potensi
untuk menikah. Jika manusia tidak mau menikah itu urusan lain tetapi sebetulnya
punya potensi. Potensi pada tumbuhan jika dinaikan lagi maka jadi hewan sudah
naluri, kemudian jika dinaikan lagi menjadi manusia yaitu intuisi. Jadi bahasa yang
digunkana ini sesuai dengan siapa kita berbicara. Kata-kata yang menyesuaikan
dengan keadaan itulah yang disebut menembus ruang dan waktu. Sehingga orang
cerdas dalam filsafat adalah orang yang sopan dan santun terhadap ruang dan
waktu.
Pertanyaan kedua diajukan oleh Sdri.
Aida mengenai tujuan hidup, bagaimana
jika tujuan hidup yang kita targetkan tidak tercapai?
Prof.
Dr. Marsigit, M.A.:
Tujuan itu adalah idealis. Idealis itu
sesuatu yang ada dalam pikiran kita. Antara
fakta dan pikiran belum tentu sinkron. Sekarang bagaimana terpenuhi dan
tidak terpenuhi dari idealis atau tujuan itu. Jadi banyak prespektif dari sisi
filsafat untuk mendekatinya. Misalnya, dari sisi tesis dan anti tesisnya. Usaha,
berfikir, atau hidup itu tidak lain dan tidak bukan dari dua unsur yang kita
sintesiskan. Misalnya sintesis antara berhasil dan tidak berhasil, sintesis
antara kenyataan dengan tujuannya, takdir dan faktanya terus begitu, antara
sehat dengan sakit. Jika dinaikan dalam ranah
spritual maka yang dipikirkan manusia itu semuanya bersifat relatif. Tidak ada
yang bersifat absolut karena yang absolut itu hanya kuasaNya. Karena relatif
maka manusia tidak mengerti bahwa kriteria keberhasilan yang dikehendaki itu
punya perspektif yang berbeda-beda. Misalnya setelah dia gagal disuatu tempat
kemudian dia bersifat tawakal, berdoa, energi masih bertahan, tetap ada usaha
dan seterusnya. Dia menemukan sebuah keberhasilan dengan segmen yang berbeda
dan dengan karakter yang berbeda tetapi maknanya jurtru berlipat ganda. Terkadang
pada saat itu kita merasa sulit. Termaksud menunda perkara, menunda aktifitas, atau menunda sikap. Jadi belum terpenuhi itu
sebenarnya sangat relatif. Oleh karena sangat relatif maka kita harus hati-hati
dalam mengambil kesimpulan. Kesimpulan yang kita ambil sebaiknya positive thingking dengan berucap
“Alhammdullillah Allah Telah memberikan nikmat kepada saya”. Jangan sampai
kesimpulannya negatif thingking pada
Tuhan. Itu jika diturunkan pada filsafat itu bisa menjadi penyakit filsafat.
Penyaikit filsafat jika dinaikan juga menjadi penyakit spritual sebab berpikir
negatif kepada Tuhan. Dalam filsafat biasa disebut “nggenge mongso” yang
artinya mendahului kehendak Tuhan. Masalah nggenge mongso yang artinya
mendahului kehendak tuhan sangat krusial sekali, dan jika dilihat dari dimensi
ruang dan wakru orang nggenge mongso
berarti berfikir, bertindak, bersikap tidak sesuai dengan ruang dan waktu. Jika
diturunkan secara material maka dia tidak sadar telah melakukan pemerkosaan,
ternyata anda telah berlaku dzolim karena tidak sadar ruang dan waktu. Maka
dari itu janganlah tergesa-gesa mengkalaim tidak berhasil. Itulah perjuangan
berfilsafat, perjuangan mereflesikan diri, bagaimana mengerti bahwa saya itu
belum mengerti.
Pertanyaan ketiga diajukan oleh Sdri.
Evvy, mengapa matematika murni disebut
koherentisme?
Prof.
Dr. Marsigit, M.A.:
Matematika murni itu hanya menyusun
defenisi, aksioma, kemudian teorema. Sampai seribu satu yang disusun teorema
saja terus. Akan tetapi teorema yang keseribupun harus tidak boleh bertentangan
dengan teorema pertama, teorema itu harus identik. Yang dipentingkan disini
adalah konsisten bahasa filsafatnya koherentisme dan lawannya adalah yang cocok
dengan ruang dan waktu yaitu korespondensi. Jadi didalam pikiranmu koherentis
dan didalam penglihatanmu koresponden. Dalam matematika selalu dimulai dengan
memisalkan. Memisalkan tidak perlu cocok dengan kenyataan karena dalam
matematika yang penting adalah logika. Contohnya “saya memisalkan jilbab
berwarna kuning, dan Sdri Azmi memakai jilbab maka menurut logika saya mba azmi
memakan jilbab kuning, walau kenyataannya warnanya biru” . Logika saya benar dan
konsisten itulah matematika. Itulah yang ditentang oleh Immanuel Kant karena
menurutnya ilmu harus berdasarkan pikiran dan pengalaman. Maka dalam
berfilsafat harus bereksperimen. Bisakah kita hidup dengan pikiran saja? Dan
sebaliknya bisakah kita hidup dengan pengalaman saja? Mari kita pikirkan.
Adakah contoh tentang ini? Contohnya seperti jilbab tadi, jika hanya menggunakan
logika saja ternyata salah, sedangkan melalui pengalaman saja mengatakan bahwa
jilbab tersebut berwarna biru. Bagaimana membuktikannya kalau itu berwarna biru?
Bagaimana memvalidasinya? Sebenar-benarnya hidup itu ternyata interaksi antara
pikiran dan pengalaman maka dari itu matematika disebut koherentisme.
Pertanyaan terakhir diajukan oleh Sdr. Heru,
bagaimana para filsuf menjawab ketidakpastian
dalam hidupnya?
Prof.
Dr. Marsigit, M.A.:
Persoalan filsafat hanya ada dua yaitu:
1.jika yang kau pikirkan ada dalam pikiranmu maka yang menjadi persoalan adalah
bagaimana engkau menjelaskan pada orang lain; dan 2.jika engkau memikirkan yang
ada diluar pikiranmu maka yang menjadi pertanyaan bagaimana engkau memahaminya.
Sebenar-benar yang terjadi dalam filsafat ialah langkahku, penglihatanku,
ucapanku sedang dalam proses membangun hidupku. Yang memiliki bermiliar-miliar
sifat yang salah satunya adalah cintaku. Sebagai contoh “mengapa mahasiswa ada di
sini? mahasiswa menjawab sedang menunggu pembimbing. Jika saya tidak disini dan
pembimbing saya datang maka pembimbing saya tidak percaya jika aku disini
menunggu beliau. Maka keberadaan saya disini merupakan usaha dalam membangun
suatu kepercayaan”. Jadi sebenarnya yang dibangun itu semua yang ada dan yang mungkin
ada, misalnya membangun hubungan, kepercayaan, hidup, dan seterusnya.
Demikian refleksi pada sesi kedua
perkuliahan Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. hari Selasa, 13 Oktober
2015. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari apa yang kita pelajari. Semoga Allah
Yang Maha Baik selalu mempermudah kita untuk tetap sopan dan santun pada ruang
dan waktu. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar