Jangan Biarkan Filsafat Menggerogoti Keyakinan
Spiritualmu,
Buatlah Menjadi
Sebaliknya
Filsafat
Pendidikan Matematika
Refleksi bagian
1
Venti Indiani | 11313244010 | Pend Matematika Int 2011
Tulisan ini
terinspirasi oleh mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika yang disampaikan
oleh Prof. Marsigit pada hari Rabu tanggal 15 Oktober 2014 pukul 09.00 WIB di
Ruang Kuliah D01.204. Begitu banyak pengetahuan yang didapat dari perkuliahan
pada hari ini. Berikut adalah beberapa pertanyaan sekaligus penjelasannya yang
diberikan oleh Prof. Marsigit.
Berikut adalah pertanyaan pertama,
Mana
yang lebih mempengaruhi, keyakinan mempengaruhi filsafat, atau filsafat
mempengaruhi keyakinan?
Berdasarkan pertanyaan di atas, Prof.
Marsigit memberikan penjelasan seperti berikut:
Jangan sampai filsafat
seseorang menggerogoti keyakinan seseorang tersebut. Namun sebaliknya,
bagaimana kita mengolah apa yang kita pelajari dalam filsafat untuk menambah
keyakinan dan ibadah kita. Ketika dalam mendalami filsafat seseorang mulai
merasa terjadi degradasi keyakinan, maka berhentilah sejenak, dan mohonlah
petunjuk pada Sang Kuasa. Sejatinya harapannya adalah keyakinan yang harusnya
mempengaruhi filsafat. Semua orang bebas untuk mempelajari ilmu, termasuk
filsafat seluas-luasnya, namun batasnya adalah spiritual kita masing-masing.
Filsafat itu tergantung orangnya, tergantung spiritual orang yang
mempelajarinya. Kadar spiitual yang berbeda akan menghasilkan filsafat yang
berbeda. Dapat disimpulkan bahwa jangan
sekali-kali filsafatmu mengurangi kadar keyakinanmu dan ibadahmu. Namun
sebaliknya, jadikan filsafatmu sebagai penyubur keyakinanmu.
Pertanyaan selanjutnya adalah,
Objek
filsafat terdiri dari yang ada dan mungkin ada. Lalu dimanakah letak yang tidak
ada?
Berdasarkan pertanyaan di atas, Prof.
Marsigit memberikan penjelasan seperti berikut:
Dalam filsafat tidak
ada itu ada, yaitu menjadi penyebab adanya yang lain. Contoh: ketika dua orang
suami istri berencana mengunjungi saudara kemudian rencana tersebut batal
karena masing-masing dari keduanya mempunyai kepentingan yang lain. Setelah
memutuskan untuk tidak jadi mengunjungi saudara, tiba-tiba sepasang suami istri
tersebut tidak jadi menghadiri kepentingannya masing-masing. Sehingga pada
akhirnya mereka hanya tinggal di rumah. Maka dilihat dari segi adanya
kepentingan tersebut mereka tidak ada. Maka ketidak adaan mereka pada
kepentingan mereka itu menjadi penyebab adanya mereka di rumah. Jadi tidak ada
itu adalah ada, hanya berbeda ruang dan waktu.
Pertanyaan selanjutnya,
Bagaimana
ikhlas dalam belajar, mengajar, dan ikhlas dalam beramal?
Berdasarkan pertanyaan di atas, Prof.
Marsigit memberikan penjelasan seperti berikut:
Selama ikhlas masih
bisa dikatakan atau diucapkan maka tidak ada yang benar keikhlasan itu. Karena
keikhlasan itu mencapai ranah spiritual. Tergantung janjinya, kita bicara
ikhlas itu dari tataran yang mana. Jika kita bicara ikhlas dari tataran dunia
maka ikhlas akan menjadi multi tafsir. Tetapi jika kita bicara pada tataran
spiritual maka tafsirnya hanya satu. Namun manusia tidak akan pernah mengerti
tentang keikhlasan itu sendiri. Karena yang benar-benar mengerti keikhlasan
seorang hamba hanyalah Sang Maha Pencipta. Ketika manusia berkata “aku tau”, “aku
ikhlas”, maka sesungguhnya ia belum ikhlas. Sejatinya apa itu keikhlasan adalah
ketika kita sudah tidak lagi mampu mengatakan “aku ikhlas”. Ikhlas dalam belajar laksana ikhlas
mengadakan yang mungkin ada. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan tumakninah
dan istiqomah.
Pertanyaan selanjutnya,
Yang
ada dan mungkin ada?
Berdasarkan pertanyaan di atas, Prof.
Marsigit memberikan penjelasan berupa contoh sebagai berikut:
Nama seseorang yang tak
kamu kenal posisinya adalah sebagai sesuatu yang mungkin ada bagi kita. Namun
nama tersebut adalah sesuatu yang ada bagi yang tahu. Maka ketika yang tahu
memberi tahu kita nama tersebut, sesuatu yang tadinya mungkin ada bagi kita
menjadi sesuatu yang ada bagi kita.
Manusia adalah makhluk
Tuhan yang sangat halus sekali. Dengan besarnya nikmat Tuhan pada kita sehingga
untuk menerima informasi dari orang lain tidak harus menginputkan data seperti
memasukkan data pada komputer. Dalam kondisi sempurna di dalam ketidaksempurnaan
harusnya manusia lebih banyak bersyukur pada Sang Pencipta.
Kemudian pertanyaan berikutnya,
Bagaimana
yang dimaksud dengan objek filsafat yang diluar pikiran dan di dalam pikiran?
Prof. Marsigit memberikan penjelasan
melalui contoh berikut ini:
Seseorang mengeluarkan
bolpen dari dalam sakunya, kemudian menyembunyikan bolpen tersebut ke dalam
buku. Kemudian ia bertanya pada audience “dimanakah bolpen saya?”. Secara
reflek audien menjawab “Di dalam buku”. Dengan jawaban seperti itu maka jika
ditinjau dari segi filsafat, audien itu telah bertindak ceroboh. Bagaimana
audien bisa menjamin bahwa bolpen ada di dalam buku? Apa buktinya, apa
jaminannya? Audien menjawab seperti itu karena mereka melihat seseorang
tersebut memasukkan bolpennya ke dalam buku. Namun sebenarnya dari segi
filsafat, jawaban audien itu hanyalah asumsi dan spekulatif.
Berdasarkan kejadian
tersebut, menurut filsafat empiris, bolpen itu tidak ada karena tidak terlihat.
Kemudian seseorang itu bertanya kembali pada audien, “Bolpen saya tadi berwarna
apa?”. Audien sontak menjawab,”Hitaaam”. Mengapa audien bisa menjawab hitam?
Audien bisa menjawab hitam karena bayangan bolpen tersebut telah ada dalam
pikiran audien.
Pertanyaan terakhir dalam sesi
perkuliahan yaitu,
Apakah
ketenangan itu ada, padahal manusia bersifat kontradiktif.
Berikut penjelasan dari Prof. Marsigit:
Dalam berfilsafat yang
terlihat adalah kualitas 1. Yang dilihat juga kualitas 1. Di dunia terdapat 2
prinsip, yaitu prinsip identitas dan kontradiksi (menurut Imanuel Khan).
Identitas bermakna “aku” sama dengan “aku”, “x” sama dengan “x”, “4” sama
dengan “4”. Namun hal tersebut hanya terjadi dalam pengandaian dan dalam
pikiran kita. Karena selama kita berada di bumi dan kemudian berfilsafat,
semuanya pasti akan terikat pada ruang dan waktu. Nah, karena sensitif terhadap
ruang dan waktu maka “aku” tidak akan pernah bisa menunjuk “diriku”. Belum
selesai aku menunjuk diriku, aku sudah berubah dari diriku yang tadi menjadi
diriku yang sekarang. Mengapa? Karena semua terikat dengan ruang dan waktu. Jadi
seseorang tidak akan pernah bisa menulis “aku” sama dengan “aku”. Karena hal
tersebut di dalam filsafat salah. Oleh karena itu hukum identitas tidak akan
pernah terjadi di dunia ini.
Maka tergantung apa
yang dimaksud ketenangan. Jika tenang yang dimaksud adalah tetap, maka
ketenangan tersebut hanya akan ada dalam pikiran. Karena sejatinya ketenangan
hanya ada di akhirat nanti. Namun jika ketenangan didefinisikan sebagai sesuatu
yang berubah, maka memang hakekat dari dunia itu sendiri memang seperti itu.