Senin, 20 Oktober 2014

Filsafat, Spiritual

Jangan Biarkan Filsafat Menggerogoti Keyakinan Spiritualmu,
Buatlah Menjadi Sebaliknya

Filsafat Pendidikan Matematika
Refleksi bagian 1
Venti Indiani | 11313244010 | Pend Matematika Int 2011


Tulisan ini terinspirasi oleh mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika yang disampaikan oleh Prof. Marsigit pada hari Rabu tanggal 15 Oktober 2014 pukul 09.00 WIB di Ruang Kuliah D01.204. Begitu banyak pengetahuan yang didapat dari perkuliahan pada hari ini. Berikut adalah beberapa pertanyaan sekaligus penjelasannya yang diberikan oleh Prof. Marsigit.

Berikut adalah pertanyaan pertama,
Mana yang lebih mempengaruhi, keyakinan mempengaruhi filsafat, atau filsafat mempengaruhi keyakinan?
Berdasarkan pertanyaan di atas, Prof. Marsigit memberikan penjelasan seperti berikut:
Jangan sampai filsafat seseorang menggerogoti keyakinan seseorang tersebut. Namun sebaliknya, bagaimana kita mengolah apa yang kita pelajari dalam filsafat untuk menambah keyakinan dan ibadah kita. Ketika dalam mendalami filsafat seseorang mulai merasa terjadi degradasi keyakinan, maka berhentilah sejenak, dan mohonlah petunjuk pada Sang Kuasa. Sejatinya harapannya adalah keyakinan yang harusnya mempengaruhi filsafat. Semua orang bebas untuk mempelajari ilmu, termasuk filsafat seluas-luasnya, namun batasnya adalah spiritual kita masing-masing. Filsafat itu tergantung orangnya, tergantung spiritual orang yang mempelajarinya. Kadar spiitual yang berbeda akan menghasilkan filsafat yang berbeda. Dapat disimpulkan bahwa jangan sekali-kali filsafatmu mengurangi kadar keyakinanmu dan ibadahmu. Namun sebaliknya, jadikan filsafatmu sebagai penyubur keyakinanmu.

Pertanyaan selanjutnya adalah,
Objek filsafat terdiri dari yang ada dan mungkin ada. Lalu dimanakah letak yang tidak ada?
Berdasarkan pertanyaan di atas, Prof. Marsigit memberikan penjelasan seperti berikut:
Dalam filsafat tidak ada itu ada, yaitu menjadi penyebab adanya yang lain. Contoh: ketika dua orang suami istri berencana mengunjungi saudara kemudian rencana tersebut batal karena masing-masing dari keduanya mempunyai kepentingan yang lain. Setelah memutuskan untuk tidak jadi mengunjungi saudara, tiba-tiba sepasang suami istri tersebut tidak jadi menghadiri kepentingannya masing-masing. Sehingga pada akhirnya mereka hanya tinggal di rumah. Maka dilihat dari segi adanya kepentingan tersebut mereka tidak ada. Maka ketidak adaan mereka pada kepentingan mereka itu menjadi penyebab adanya mereka di rumah. Jadi tidak ada itu adalah ada, hanya berbeda ruang dan waktu.

Pertanyaan selanjutnya,
Bagaimana ikhlas dalam belajar, mengajar, dan ikhlas dalam beramal?
Berdasarkan pertanyaan di atas, Prof. Marsigit memberikan penjelasan seperti berikut:
Selama ikhlas masih bisa dikatakan atau diucapkan maka tidak ada yang benar keikhlasan itu. Karena keikhlasan itu mencapai ranah spiritual. Tergantung janjinya, kita bicara ikhlas itu dari tataran yang mana. Jika kita bicara ikhlas dari tataran dunia maka ikhlas akan menjadi multi tafsir. Tetapi jika kita bicara pada tataran spiritual maka tafsirnya hanya satu. Namun manusia tidak akan pernah mengerti tentang keikhlasan itu sendiri. Karena yang benar-benar mengerti keikhlasan seorang hamba hanyalah Sang Maha Pencipta. Ketika manusia berkata “aku tau”, “aku ikhlas”, maka sesungguhnya ia belum ikhlas. Sejatinya apa itu keikhlasan adalah ketika kita sudah tidak lagi mampu mengatakan “aku ikhlas”. Ikhlas dalam belajar laksana ikhlas mengadakan yang mungkin ada. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan tumakninah dan istiqomah.

Pertanyaan selanjutnya,
Yang ada dan mungkin ada?
Berdasarkan pertanyaan di atas, Prof. Marsigit memberikan penjelasan berupa contoh sebagai berikut:
Nama seseorang yang tak kamu kenal posisinya adalah sebagai sesuatu yang mungkin ada bagi kita. Namun nama tersebut adalah sesuatu yang ada bagi yang tahu. Maka ketika yang tahu memberi tahu kita nama tersebut, sesuatu yang tadinya mungkin ada bagi kita menjadi sesuatu yang ada bagi kita.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang sangat halus sekali. Dengan besarnya nikmat Tuhan pada kita sehingga untuk menerima informasi dari orang lain tidak harus menginputkan data seperti memasukkan data pada komputer. Dalam kondisi sempurna di dalam ketidaksempurnaan harusnya manusia lebih banyak bersyukur pada Sang Pencipta.

Kemudian pertanyaan berikutnya,
Bagaimana yang dimaksud dengan objek filsafat yang diluar pikiran dan di dalam pikiran?
Prof. Marsigit memberikan penjelasan melalui contoh berikut ini:
Seseorang mengeluarkan bolpen dari dalam sakunya, kemudian menyembunyikan bolpen tersebut ke dalam buku. Kemudian ia bertanya pada audience “dimanakah bolpen saya?”. Secara reflek audien menjawab “Di dalam buku”. Dengan jawaban seperti itu maka jika ditinjau dari segi filsafat, audien itu telah bertindak ceroboh. Bagaimana audien bisa menjamin bahwa bolpen ada di dalam buku? Apa buktinya, apa jaminannya? Audien menjawab seperti itu karena mereka melihat seseorang tersebut memasukkan bolpennya ke dalam buku. Namun sebenarnya dari segi filsafat, jawaban audien itu hanyalah asumsi dan spekulatif.
Berdasarkan kejadian tersebut, menurut filsafat empiris, bolpen itu tidak ada karena tidak terlihat. Kemudian seseorang itu bertanya kembali pada audien, “Bolpen saya tadi berwarna apa?”. Audien sontak menjawab,”Hitaaam”. Mengapa audien bisa menjawab hitam? Audien bisa menjawab hitam karena bayangan bolpen tersebut telah ada dalam pikiran audien.

Pertanyaan terakhir dalam sesi perkuliahan yaitu,
Apakah ketenangan itu ada, padahal manusia bersifat kontradiktif.
Berikut penjelasan dari Prof. Marsigit:
Dalam berfilsafat yang terlihat adalah kualitas 1. Yang dilihat juga kualitas 1. Di dunia terdapat 2 prinsip, yaitu prinsip identitas dan kontradiksi (menurut Imanuel Khan). Identitas bermakna “aku” sama dengan “aku”, “x” sama dengan “x”, “4” sama dengan “4”. Namun hal tersebut hanya terjadi dalam pengandaian dan dalam pikiran kita. Karena selama kita berada di bumi dan kemudian berfilsafat, semuanya pasti akan terikat pada ruang dan waktu. Nah, karena sensitif terhadap ruang dan waktu maka “aku” tidak akan pernah bisa menunjuk “diriku”. Belum selesai aku menunjuk diriku, aku sudah berubah dari diriku yang tadi menjadi diriku yang sekarang. Mengapa? Karena semua terikat dengan ruang dan waktu. Jadi seseorang tidak akan pernah bisa menulis “aku” sama dengan “aku”. Karena hal tersebut di dalam filsafat salah. Oleh karena itu hukum identitas tidak akan pernah terjadi di dunia ini.
Maka tergantung apa yang dimaksud ketenangan. Jika tenang yang dimaksud adalah tetap, maka ketenangan tersebut hanya akan ada dalam pikiran. Karena sejatinya ketenangan hanya ada di akhirat nanti. Namun jika ketenangan didefinisikan sebagai sesuatu yang berubah, maka memang hakekat dari dunia itu sendiri memang seperti itu.