Senin, 18 Januari 2016

REFLEKSIKU DALAM BERFILSAFAT

REFLEKSIKU DALAM BERFILSAFAT
Venti Indiani | NIM 15709251057


A.    Adab Mempelajari Filsafat
Tiadalah ilmu di dunia ini yang dalam mempelajarinya tak mempunyai tata cara atau adab. Begitupun ketika kita berbicara mengenai filsafat. Adab pertama dan paling utama dalam mempelajari filsafat tidak lain dan tidak bukan adalah membangun pagar dan pondasi spiritual. Mengapa? Karena setinggi-tingginya ilmu di dunia tidak lain dan tidak bukan adalah ilmu spiritual. Filsafat ilmu merupakan suatu olah pikir, dimana kita akan menggunakan segenap pikiran, jiwa, dan raga untuk mempelajarinya. Yang harus kita ingat adalah jangan sampai setelah mempelajari filsafat menjadi rapuh dan hancur pertahanan spiritual kita. Maka dari itu, perlu suatu pondasi yang kuat sebagai koridor kita dalam mempelajari filsafat. Adab yang kedua, kita memanfaatkan momen dalam mempelajari ini sambil mematangkan aspek psikologis kita. Aspek psikologis ini antara lain meliputi kesabaran, ketelatenan, dan jaya juang untuk belajar. Karena sudah pasti dalam belajar filsafat dibutuhkan kesabaran, ketelatenan, dan jaya juang dalam belajar yang tinggi. Tiadalah kita dikatakan sedang belajar jika dalam prosesnya tidak ada effort yang keras dari dalam diri, begitu pun ketika belajar filsafat.
B.     Objek Filsafat
Ranah filsafat mengenal dua macam objek yang terdiri atas objek yang ada dan yang mungkin ada. Masing-masing objek memiliki bermilyar-milyar sifat-sifat yang tidak akan mungkin mampu disebutkan seluruhnya satu per satu oleh manusia. Objek filsafat menjadi suatu yang subjektif karena bisa jadi menjadi ada bagi seseorang, namun menjadi yang mungkin ada bagi orang lain, begitu pun sebaliknya. Maka yang ada dan yang mungkin ada itu tergantung bagi siapa. Untuk lebih memahaminya, Prof Marsigit pernah menjelaskan secara sederhana seperti berikut. Beliau menanyakan tanggal lahir cucu Beliau di kelas. Tak ada satupun mahasiswa yang mampu menjawab dengan benar. Nah, maka bisa dikatakan bahwa (saat itu) tanggal lahir cucu Prof Marsigit adalah sesuatu yang mungkin ada bagi kami (mahasiswa). Namun tanggal lahir tersebut adalah sesuatu yang ada bagi yang tahu (Prof Marsigit). Dan sesaat ketika Prof Marsigit memberi tahu tanggal lahir cucu Beliau, sesuatu yang tadinya mungkin ada bagi mahasiswa itu menjadi sesuatu yang ada. Begitulah kira-kira perumpamaan dari subjektifitas objek filsafat.
C.    Membangun Pengetahuan Melalui Filsafat
Berdasarkan sudut pandang filsafat, dalam membangun pengetahuan ada dua hal yang akan menjadi fokus perhatian. Fokus pertama yaitu bagaimana kita mampu menjelaskan obyek pikir yang ada di dalam pikiran kita, sedangkan yang kedua jika obyek pikir berada di luar pikiran kita maka bagaimana cara kita untuk mengetahuinya. Membangun pengetahuan dan ilmu pengetahuan tentu meliputi semua yang ada dan yang mungkin ada. Membangun pengetahuan secara filsafat dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi sifat-sifatnya yang ada dan yang mungkin ada. Karena yang akan dilakukan adalah membangun ilmu secara filsafat, maka identifikasi dari sifat-sifat yang ada dan yang mungkin ada juga ditinjau secara filsafati. Sifat-sifat filsafati adalah sifat-sifat yang merupakan hasil pemikiran para filsuf.
Menurut filsafat yang tetap hanyalah ada di dalam pikiran. Contoh dalam kehidupan sehati-hari mengenai yang tetap ini contohnya adalah jumlah mata pada manusia, jumlah kaki pada manusia, jumlah tangan pada manusia, dll. Sementara itu pada umumnya sesuatu yang berubah itu berada di luar pikiran. Contoh dalam keseharian kita yang berubah antara lain adalah jalan pikiran manusia, umur manusia, dll. Tokoh Ilmu filsafat yang mengenalkan tentang filsafat yang bersifat tetap yaitu Permenides sehingga ilmunya disebut Permenidenisme. Sementara itu tokoh filsafat yang mengenalkan tentang filsafat yang objeknya berubah adalah Heraklitos sehingga ilmunya disebut Heraklitosianisme.
Obyek yang tetap ada di dalam pikiran sedangkan yang tidak tetap atau berubah ada di luar pikiran. Paham yang menjelaskan mengenai objek yang ada di dalam pikiran disebut Paham Idealism yang dicetuskan oleh Plato. Kebenaran di dalam pikiran bersifat koherensi. Di dalam pikiran objek bersifat analitik dan apriori. Sifat-sifat dari paham idealism adalah sesuatu yang ideal. Hal ini kemudian berlaku sifat identitas dimana subyek sama dengan predikat. Contoh adanya hukum identitas adalah A=A. Artinya bahwa A pertama akan sama dengan A kedua. Namun perlu kita ingat bahwa filsafat merupakan ilmu yang memperhatikan ruang dan waktu. Oleh karena itu hukum identitas A=A hanya berlaku ketika di dalam pikiran saja.
Sementara itu paham yang menjelaskan mengenai objek yang ada di luar pikiran dikenal dengan Paham Realism yang dicetuskan oleh Aristoteles. Kebenaran di luar pikiran bersifat korespondensi. Di luar pikiran objek bersifat  aposteriori. Sifat-sifat dari realism adalah realis. Dalam realis berlaku sifat kontradiksi karena terikat ruang dan waktu dimana subyek tidak sama dengan predikat. Paham ini jika dikembangkan lebih jauh maka ideal yang dimaksud akan menuju rasio atau rasionalisme. Paham rasionalisme beranggapan bahwab ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu yang diakui benar oleh rasio manusia. Prinsip pertama ini bersumber dari dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman empiris. Aliran rasionalisme ini dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Rene Descartes menyatakan perlunya metode yang ampuh sebagai dasar yang kokoh bagi semua pengetahuan. Penganut paham rasionalisme meyakini bahwa sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat apriori, sehingga proposisi dari aliran rasionalisme ini bersifat analitis dan a priori. Ide pokok yang diungkapkan oleh Rene Descartes adalah (1) saya memahami bahwa saya makhluk berpikir maka pemikiran merupakan hakekat saya, (2) Tuhan merupakan wujud yang sempurna, dan (3) materi sebagai keluasan atau ekstensi sebagaimana hal itu dipelajari dan dilukiskan oleh para ahli ilmu ukur. Maka paham ini meyakini bahwa sumber dari pengetahuan adalah rasio dimana rasio itu berpikir. Jadi ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan cara berpikir.
Lebih jauh lagi paham Realisme akan berkembang menjadi pengalaman atau empirisisme dengan tokohnya adalah David Hume. Jika pada paham rasionalisme memberikan kedudukan pengalaman sebagai sumber pengetahuan, maka empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan pengahuan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah. Menurut David Hume (1711-1776 M) pengalaman dimulai dari ide bahwa semua isi pengalaman sadar dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Istilah kesan (impression) menunjukkan kepada semua persepsi kita yang lebih hidup ketika mendengar, melihat, merasa, mencinta, dll. Sementara itu ide adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang kesan, hal tersebut bertumpu pada kemampuan imajinasi dalam membuat ide.
Pada dasarnya terdapat perbedaan pendapat atau pandangan antara tokoh filsuf Rene Descartes dengan David Hume. Rene Descrates berpendapat tidak mungkin mendapatkan ilmu tanpa rasio sedangkan David berpendapat tidak mungkin mendapat ilmu tanpa pengalaman. Kemudian Imanuel Kant menjadi sosok penengah diantara kedua pihak yang beselisih tersebut. Menurut Imanuel Kant, baik teori Rene Descartes maupun teori David memiliki kelemahan. Rene Descartes hanya mendewakan pikiran dan mengabaikan pengalaman, sedangkan David sebaliknya yaitu mendewakan pengalaman dan mengesampingkan rasio. Imanuel Kant kemudian berkata bahwa sebenar-benar ilmu adalah gabungan pikiran dan pengalaman. Dimana antara pikiran atau rasio dan pengalaman saling melengkapi.
Dari beberapa sifat di atas antara lain sifat identitas, analitiak, dan apiori merupakan sifat-sifat matematika murni. Sifat-sifat matematika ini untuk orang dewasa. Sedangkan yang memiliki sifat-sifat di luar pikiran sebagian adalah milik anak-anak atau untuk matematika sekolah. Tentu tidaklah sesuai jika matematika murni diterapkan di dunia anak-anak. Oleh karena itu diperlukan matematika sekolah atau matematika horizontal. Matematika sekolah memandang bahwa matematika bukanlah suatu formal yang abstrak namun sebagai suatu kegiatan bagi anak. Dalam menerapkan matematika sekolah kita dapat berpatokan pada Fenomena Iceberg dimana dalam tahapan mengajarkan matematika pada anak terdiri atas empat tahapan, yaitu matematika konkrit, model konkrit, model formal dan matematika formal. Dengan demikian matematika dapat diterima dengan baik oleh anak. Seperti apa yang telah dituliskan dalam makalah Prof Marsigit bahwasannya jika kita tidak membelajarkan matematika pada anak sesuai dengan tahapannya, maka bisa jadi seperti fenomena meletusnya gunung merapi. Artinya hal tersebut sangat berbahaya bagi anak.
D.    Filsafat Memandang Arus Globalisasi
Salah satu filsuf besar dari Prancis, Auguste Comte mempublikasikan aliran filsafatnya yang dikenal dengan Aliran Positivisme. Dalam aliran ini Comte membagi perkembangan manusia ke dalam 3 tahap yaitu tahap teologi (spiritual), kemudian berkembang ke tahap metafisika (filsafat), dan akan berkembang ketahap yang terakhir yaitu tahap positif (modern). Tahap teologi bersifat melekatkan manusia kepada selain manusia seperti alam atau apa yang ada dibaliknya. Pada tahap ini menurut manusia benda-benda pada zaman ini merupakan mengandung supernaturalisme. Manusia mempercayai adanya kekuatan magis pada benda-benda tertentu (teologis paling primitif). Kemudian setelah itu manusia percaya akan banyak Tuhan. Setelah itu kepercayaan bergeser menjadi monoteisme dimana tahap ini merupakan tahap tertinggi dimana manusia menyatukan Tuhan-Tuhan yang diyakini menjadi Tuhan yang tunggal dan paling tinggi. Tahap selanjutnya yaitu tahap metafisik dimana pada tahap ini merupakan masa perubahan dari masa teologi. Jika pada tahap teologi manusia hanya percaya pada satu Tuhan, maka tahap metafisika manusia mulai mempertanyakan dan mulai mencari bukti-bukti terhadap pandangan tersebut. Tahap yang terakhir menurut Comte yaitu tahap positif dimana pada tahap ini manusia tahu bahwa tidak ada gunanya untuk mempertanyakan suatu pengetahuan yang mutlak, baik secara teologis maupun metafisika. Manusia berusaha untuk menemukan hukum dari banyak hal melalui eksperimen yang pada akhirnya menghasilan fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Tahap ini menurut Comte adalah suatu tahap yang berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia.
            Positivisme inilah yang kemudian dengan dahsyatnya menjelma sebagai Powernow atau yang biasa dikenal dengan istilah kehidupan kontemporer. Tentu adanya budaya kontemporer tidak hanya membawa dampak positif namun tentu juga memaksa masyarakat untuk terseret dalam dampak negatifnya. Efek positif yang bisa kita nikmati yang paling kentara adalah adanya kemudahan teknologi yang begitu cepatnya sehingga jarak bagi dua orang yang terpisah benua pun kian tiada arti berkat teknologi. Sumber informasi bisa didapatkan dengan sangat mudah dan cepat. Namun disisi lain ada dampak negatif yang mengiringi segala kemudahan tersebut antara lain adanya budaya hedonisme, utilitaranisme, materialisme, kapitalisme, dll. Bagaimana contoh nyatanya? Sebagai ilustrasi, saat ini teknologi berkembang cukup cepat dan menarik untuk dinikmati masyarakat sehingga tidak sedikit manusia yang rela terus-terusan mengeluarkan uang untuk mengikuti perkembangan teknologi seperti gadget, netbook, dll. Hal tersebut secara tidak langsung membawa manusia ke lembah hedonisme. Contoh lain ketika manusia terlalu asik dengan gadget nya hingga terkadang lupa akan kewajiban secara spiritualnya, hidup secara apatis, dan lain sebagainya. Sebagai manusia tentu kita tidak dapat mengasingkan diri dari teknologi dengan kemudahannya namun sebagai manusia yang bijak tentu jangan sampai hal tersebut menggerogoti ketaatan spiritual kita dan menodai keharmonisan kita dalam bermasyarakat.