REFLEKSIKU
DALAM BERFILSAFAT
Venti Indiani | NIM
15709251057
A.
Adab
Mempelajari Filsafat
Tiadalah
ilmu di dunia ini yang dalam mempelajarinya tak mempunyai tata cara atau adab.
Begitupun ketika kita berbicara mengenai filsafat. Adab pertama dan paling
utama dalam mempelajari filsafat tidak lain dan tidak bukan adalah membangun
pagar dan pondasi spiritual. Mengapa? Karena setinggi-tingginya ilmu di dunia
tidak lain dan tidak bukan adalah ilmu spiritual. Filsafat ilmu merupakan suatu
olah pikir, dimana kita akan menggunakan segenap pikiran, jiwa, dan raga untuk
mempelajarinya. Yang harus kita ingat adalah jangan sampai setelah mempelajari
filsafat menjadi rapuh dan hancur pertahanan spiritual kita. Maka dari itu,
perlu suatu pondasi yang kuat sebagai koridor kita dalam mempelajari filsafat.
Adab yang kedua, kita memanfaatkan momen dalam mempelajari ini sambil
mematangkan aspek psikologis kita. Aspek psikologis ini antara lain meliputi
kesabaran, ketelatenan, dan jaya juang untuk belajar. Karena sudah pasti dalam
belajar filsafat dibutuhkan kesabaran, ketelatenan, dan jaya juang dalam
belajar yang tinggi. Tiadalah kita dikatakan sedang belajar jika dalam
prosesnya tidak ada effort yang keras
dari dalam diri, begitu pun ketika belajar filsafat.
B.
Objek
Filsafat
Ranah
filsafat mengenal dua macam objek yang terdiri atas objek yang ada dan yang
mungkin ada. Masing-masing objek memiliki bermilyar-milyar sifat-sifat yang
tidak akan mungkin mampu disebutkan seluruhnya satu per satu oleh manusia.
Objek filsafat menjadi suatu yang subjektif karena bisa jadi menjadi ada bagi
seseorang, namun menjadi yang mungkin ada bagi orang lain, begitu pun
sebaliknya. Maka yang ada dan yang mungkin ada itu tergantung bagi siapa. Untuk
lebih memahaminya, Prof Marsigit pernah menjelaskan secara sederhana seperti
berikut. Beliau menanyakan tanggal lahir cucu Beliau di kelas. Tak ada satupun
mahasiswa yang mampu menjawab dengan benar. Nah, maka bisa dikatakan bahwa
(saat itu) tanggal lahir cucu Prof Marsigit adalah sesuatu yang mungkin ada
bagi kami (mahasiswa). Namun tanggal lahir tersebut adalah sesuatu yang ada
bagi yang tahu (Prof Marsigit). Dan sesaat ketika Prof Marsigit memberi tahu
tanggal lahir cucu Beliau, sesuatu yang tadinya mungkin ada bagi mahasiswa itu
menjadi sesuatu yang ada. Begitulah kira-kira perumpamaan dari subjektifitas
objek filsafat.
C.
Membangun
Pengetahuan Melalui Filsafat
Berdasarkan sudut pandang filsafat, dalam membangun pengetahuan ada dua hal
yang akan menjadi fokus perhatian. Fokus pertama yaitu bagaimana kita mampu
menjelaskan obyek pikir yang ada di dalam pikiran kita, sedangkan yang kedua
jika obyek pikir berada di luar pikiran kita maka bagaimana cara kita untuk
mengetahuinya. Membangun pengetahuan dan ilmu pengetahuan tentu meliputi semua
yang ada dan yang mungkin ada. Membangun pengetahuan secara filsafat dapat
dilakukan dengan cara mengidentifikasi sifat-sifatnya yang ada dan yang mungkin
ada. Karena yang akan dilakukan adalah membangun ilmu secara filsafat, maka
identifikasi dari sifat-sifat yang ada dan yang mungkin ada juga ditinjau
secara filsafati. Sifat-sifat filsafati adalah sifat-sifat yang merupakan hasil
pemikiran para filsuf.
Menurut filsafat yang tetap hanyalah ada di dalam pikiran. Contoh
dalam kehidupan sehati-hari mengenai yang tetap ini contohnya adalah jumlah
mata pada manusia, jumlah kaki pada manusia, jumlah tangan pada manusia, dll.
Sementara itu pada umumnya sesuatu yang berubah itu berada di luar pikiran.
Contoh dalam keseharian kita yang berubah antara lain adalah jalan pikiran
manusia, umur manusia, dll. Tokoh
Ilmu filsafat yang mengenalkan tentang filsafat yang bersifat tetap yaitu
Permenides sehingga ilmunya disebut Permenidenisme. Sementara itu tokoh
filsafat yang mengenalkan tentang filsafat yang objeknya berubah adalah
Heraklitos sehingga ilmunya disebut Heraklitosianisme.
Obyek
yang tetap ada di dalam pikiran sedangkan yang tidak tetap atau berubah ada di
luar pikiran. Paham yang menjelaskan mengenai objek yang ada di dalam pikiran disebut
Paham Idealism yang dicetuskan oleh Plato. Kebenaran di dalam pikiran bersifat
koherensi. Di dalam pikiran objek bersifat analitik dan apriori. Sifat-sifat
dari paham idealism adalah sesuatu yang ideal. Hal ini kemudian berlaku sifat
identitas dimana subyek sama dengan predikat. Contoh adanya hukum identitas
adalah A=A. Artinya bahwa A pertama akan sama dengan A kedua. Namun perlu kita
ingat bahwa filsafat merupakan ilmu yang memperhatikan ruang dan waktu. Oleh
karena itu hukum identitas A=A hanya berlaku ketika di dalam pikiran saja.
Sementara
itu paham yang menjelaskan mengenai objek yang ada di luar pikiran dikenal
dengan Paham Realism yang dicetuskan oleh Aristoteles. Kebenaran
di luar pikiran bersifat korespondensi. Di luar pikiran objek bersifat aposteriori. Sifat-sifat dari realism adalah
realis. Dalam realis berlaku sifat kontradiksi karena terikat ruang dan waktu dimana
subyek tidak sama dengan predikat. Paham ini jika dikembangkan lebih jauh maka ideal
yang dimaksud akan menuju rasio atau rasionalisme. Paham rasionalisme beranggapan bahwab ada prinsip-prinsip dasar
dunia tertentu yang diakui benar oleh rasio manusia. Prinsip pertama ini
bersumber dari dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman empiris.
Aliran rasionalisme ini dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Rene
Descartes menyatakan perlunya metode yang ampuh sebagai dasar yang kokoh bagi
semua pengetahuan. Penganut paham rasionalisme meyakini bahwa sumber utama
pengetahuan adalah akal budi yang bersifat apriori, sehingga proposisi dari
aliran rasionalisme ini bersifat analitis dan a priori. Ide pokok yang diungkapkan
oleh Rene Descartes adalah (1) saya memahami bahwa saya makhluk berpikir maka
pemikiran merupakan hakekat saya, (2) Tuhan merupakan wujud yang sempurna, dan
(3) materi sebagai keluasan atau ekstensi sebagaimana hal itu dipelajari dan
dilukiskan oleh para ahli ilmu ukur. Maka paham ini meyakini bahwa sumber dari
pengetahuan adalah rasio dimana rasio itu berpikir. Jadi ilmu pengetahuan hanya
dapat diperoleh dengan cara berpikir.
Lebih
jauh lagi paham Realisme akan berkembang menjadi pengalaman atau empirisisme
dengan tokohnya adalah David Hume. Jika
pada paham rasionalisme memberikan kedudukan pengalaman sebagai sumber
pengetahuan, maka empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan
pengahuan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah. Menurut David
Hume (1711-1776 M) pengalaman dimulai dari ide bahwa semua isi pengalaman sadar
dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Istilah kesan (impression) menunjukkan kepada semua
persepsi kita yang lebih hidup ketika mendengar, melihat, merasa, mencinta, dll.
Sementara itu ide adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran
tentang kesan, hal tersebut bertumpu pada kemampuan imajinasi dalam membuat
ide.
Pada
dasarnya terdapat perbedaan pendapat atau pandangan antara tokoh filsuf Rene
Descartes dengan David Hume. Rene Descrates berpendapat tidak mungkin
mendapatkan ilmu tanpa rasio sedangkan David berpendapat tidak mungkin mendapat
ilmu tanpa pengalaman. Kemudian Imanuel Kant menjadi sosok penengah diantara
kedua pihak yang beselisih tersebut. Menurut Imanuel Kant, baik teori Rene
Descartes maupun teori David memiliki kelemahan. Rene Descartes hanya
mendewakan pikiran dan mengabaikan pengalaman, sedangkan David sebaliknya yaitu
mendewakan pengalaman dan mengesampingkan rasio. Imanuel Kant kemudian berkata
bahwa sebenar-benar ilmu adalah gabungan pikiran dan pengalaman. Dimana antara
pikiran atau rasio dan pengalaman saling melengkapi.
Dari
beberapa sifat di atas antara lain sifat identitas, analitiak, dan apiori
merupakan sifat-sifat matematika murni. Sifat-sifat matematika ini untuk orang
dewasa. Sedangkan yang memiliki sifat-sifat di luar pikiran sebagian adalah
milik anak-anak atau untuk matematika sekolah. Tentu tidaklah sesuai jika
matematika murni diterapkan di dunia anak-anak. Oleh karena itu diperlukan
matematika sekolah atau matematika horizontal. Matematika sekolah memandang
bahwa matematika bukanlah suatu formal yang abstrak namun sebagai suatu
kegiatan bagi anak. Dalam menerapkan matematika sekolah kita dapat berpatokan
pada Fenomena Iceberg dimana dalam tahapan mengajarkan matematika pada anak
terdiri atas empat tahapan, yaitu matematika konkrit, model konkrit, model
formal dan matematika formal. Dengan demikian matematika dapat diterima dengan
baik oleh anak. Seperti apa yang telah dituliskan dalam makalah Prof Marsigit
bahwasannya jika kita tidak membelajarkan matematika pada anak sesuai dengan
tahapannya, maka bisa jadi seperti fenomena meletusnya gunung merapi. Artinya
hal tersebut sangat berbahaya bagi anak.
D.
Filsafat Memandang Arus Globalisasi
Salah satu filsuf besar dari Prancis, Auguste Comte mempublikasikan
aliran filsafatnya yang dikenal dengan Aliran Positivisme. Dalam aliran ini
Comte membagi perkembangan manusia ke dalam 3 tahap yaitu tahap teologi
(spiritual), kemudian berkembang ke tahap metafisika (filsafat), dan akan
berkembang ketahap yang terakhir yaitu tahap positif (modern). Tahap teologi
bersifat melekatkan manusia kepada selain manusia seperti alam atau apa yang
ada dibaliknya. Pada tahap ini menurut manusia benda-benda pada zaman ini
merupakan mengandung supernaturalisme. Manusia mempercayai adanya kekuatan
magis pada benda-benda tertentu (teologis paling primitif). Kemudian setelah
itu manusia percaya akan banyak Tuhan. Setelah itu kepercayaan bergeser menjadi
monoteisme dimana tahap ini merupakan tahap tertinggi dimana manusia menyatukan
Tuhan-Tuhan yang diyakini menjadi Tuhan yang tunggal dan paling tinggi. Tahap
selanjutnya yaitu tahap metafisik dimana pada tahap ini merupakan masa
perubahan dari masa teologi. Jika pada tahap teologi manusia hanya percaya pada
satu Tuhan, maka tahap metafisika manusia mulai mempertanyakan dan mulai
mencari bukti-bukti terhadap pandangan tersebut. Tahap yang terakhir menurut
Comte yaitu tahap positif dimana pada tahap ini manusia tahu bahwa tidak ada
gunanya untuk mempertanyakan suatu pengetahuan yang mutlak, baik secara
teologis maupun metafisika. Manusia berusaha untuk menemukan hukum dari banyak
hal melalui eksperimen yang pada akhirnya menghasilan fakta ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum.
Tahap ini menurut Comte adalah suatu tahap yang berlaku bagi perkembangan
rohani seluruh umat manusia.
Positivisme inilah
yang kemudian dengan dahsyatnya menjelma sebagai Powernow atau yang biasa
dikenal dengan istilah kehidupan kontemporer. Tentu adanya budaya kontemporer
tidak hanya membawa dampak positif namun tentu juga memaksa masyarakat untuk
terseret dalam dampak negatifnya. Efek positif yang bisa kita nikmati yang
paling kentara adalah adanya kemudahan teknologi yang begitu cepatnya sehingga
jarak bagi dua orang yang terpisah benua pun kian tiada arti berkat teknologi.
Sumber informasi bisa didapatkan dengan sangat mudah dan cepat. Namun disisi
lain ada dampak negatif yang mengiringi segala kemudahan tersebut antara lain adanya
budaya hedonisme, utilitaranisme, materialisme, kapitalisme, dll. Bagaimana
contoh nyatanya? Sebagai ilustrasi, saat ini teknologi berkembang cukup cepat
dan menarik untuk dinikmati masyarakat sehingga tidak sedikit manusia yang rela
terus-terusan mengeluarkan uang untuk mengikuti perkembangan teknologi seperti
gadget, netbook, dll. Hal tersebut secara tidak langsung membawa manusia ke
lembah hedonisme. Contoh lain ketika manusia terlalu asik dengan gadget nya
hingga terkadang lupa akan kewajiban secara spiritualnya, hidup secara apatis,
dan lain sebagainya. Sebagai manusia tentu kita tidak dapat mengasingkan diri
dari teknologi dengan kemudahannya namun sebagai manusia yang bijak tentu
jangan sampai hal tersebut menggerogoti ketaatan spiritual kita dan menodai
keharmonisan kita dalam bermasyarakat.