Mengapa
Harus Kau Kuatkan Dimensi Spiritualmu Sebelum Mengenal Filsafat
Venti
Indiani | 15709251057
Pend.Matematika
PPs UNY 2015
Kembali
lagi pada tulisan mengenai filsafat yang terinspirasi oleh mata kuliah Filsafat
Ilmu yang disampaikan oleh Prof. Dr Marsigit,MA pada Pascasarjana Prodi
Pendidikan Matematika Kelas A pada hari Selasa tanggal 22 September 2015 pukul
11.10 – 12.50 WIB di Ruang Kuliah R.305B Gedung Lama Universitas Negeri
Yogyakarta.
Pada
awal perkuliahan Prof. Dr Marsigit,MA selalu memberikan kesempatan bagi
mahasiswanya untuk mengajukan pertanyaan apabila ada pertanyaan yang muncul
setelah pertemuan pada minggu sebelumnya. Menurut saya pribadi hal tersebut
mengindikasikan bahwa dalam proses perkuliahan terjadi adanya komunikasi dua
arah dimana antara dosen dan mahasiswa berperan aktif. Dosen tidak mendominasi
kelas, namun mahasiswa diberikan kesempatan untuk mengajukan ide, gagasan,
maupun pertanyaan sehingga perkuliahan lebih interaktif.
Berikut
merupakan beberapa pertanyaan spontan yang diajukan oleh mahasiswa Pascasarjana
Prodi Pendidikan Matematika Kelas A selama perkuliahan:
1. Pertanyaan pertama diajukan oleh Ibu Retno Kusumadewi yaitu mengenai bagaimana
menurut pandangan filsafat mengenai pemikiran peserta didik dalam proses
pembelajaran, terutama pembelajaran matematika yang cenderung untuk memilih
jalan yang mudah dan cara yang instan dalam menyelesaikan permasalahan
matematika. Pembahasan:
Menanggapi pertanyaan
di atas, Prof. Dr Marsigit,MA menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh Ibu
Retno tersebut adalah berbuhungan dengan adanya budaya instan yang telah
diuraiakan oleh Prof. Dr Marsigit,MA dalam tulisan Narasi Besar Politik dan
Ideologi Pendidikan Dunia dan telah diunggah di situs beliau https://uny.academia.edu/MarsigitHrd.
Intisari dari tulisan tersebut adalah atmosfir/kurun waktunya memang sudah
waktunya seperti itu, dimana banyak pemikiran jika ada yang mudah mengapa harus
mencari yang sulit. Jika bisa dipermudah mengapa harus dipersulit? Perjuangan
dalam arti yang lain, “jika aku tesis, aku membuat anti-tesisnya”. Anti-tesis
yang dibuat yaitu kalau bisa mengerjakan yang sulit mengapa harus mengerjakan
yang mudah. Hal tersebut jelas sangat mudah diucapkan namun sangat sulit untuk
dilakukan. Jika kita menguji diri kita untuk memilih antara melakukan yang
mudah atau yang sulit, Prof. Dr Marsigit,MA menggambarkan bahwa dampak dari
yang kita pilih itu adalah seluas dunia dan akhirat. Pun jika dilihat dari sisi
psikologis, antara “mengapa harus memilih yang sulit jika ada yang mudah” dan
“mengapa harus memilih yang mudah jika ada yang sulit” mempunyai dampak yang
sangat jauh berbeda. Pernyataan “mengapa harus memilih yang sulit jika ada yang
mudah” dilihat dari sisi psikologis kondisi tersebut mengindikasikan pelakunya
cenderung dalam keadaan senang dalam zona aman dan nyaman, tidak mau
meningkatkan kemampuan diri, santai, mudah menyerah, tidak ingin berkembang, tak
mau bekerja keras, motivasi rendah, defensif, tidak kreatif, masa bodoh, dan
lain-lain. Sementara pernyataan “mengapa
harus memilih yang mudah jika ada yang sulit” dilihat dari sisi psikologis
kondisi tersebut mengindikasikan pelakunya cenderung mempunyai sifat mau
berkembang, kreatif, cerdas, bekerja keras, ingin tau tinggi, motivasi tinggi,
dan lain-lain. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa hidup itu adalah interaksi
antara kedua pernyataan di atas. Jika menginginkan kehidupan yang lebih baik
maka hijrahlah dari “mengapa harus memilih yang sulit jika ada yang mudah” ke
“mengapa harus memilih yang mudah jika ada yang sulit”.
2.
Pertanyaan kedua dikemukakan oleh Sdr. Heru Tri Novi Rizki yaitu
mengenai bagaimana pandangan filsafat mengenai pendapat Hawking tentang
penciptaan alam semesta.
Pembahasan:
Dari pertanyaan
tersebut Prof. Dr Marsigit,MA menegaskan bahwa pertanyaan tersebut mengarah
pada pandangan agama tentang makhluk pertama manusia yang dikemukakan oleh
Darwin adalah seekor binatang (monyet). Sementara orang mempunyai agama, dalam
agama apapun percaya bahwa manusia pertama di dunia adalah manusia, yaitu Adam
AS. Sedangkan Darwin membuat suatu teori evolusi mengenai hukum sebab akibat,
bahwa jika manusia setiap pagi misalnya belajar terbang terus menerus, maka
dalam kurun waktu bermilyar-milyar keturunan, bermilyar-milyar tahun harapannya
nanti manusia mempunyai kemampuan untuk terbang. Yang demikian merupakan teori
potensi atau teori pengembangan diri dan ditangkap oleh Imanuel Khan sebagai
teleologi, segala macam perkiraan masuk ke dalam ilmu teleologi. Kembali lagi
mengenai teori evolusi jika kembali pada filsafat bahwa segala sesuatu mengalami
perubahan. Tiadalah di dunia ini yang tidak mengalami perubahan. Jika hanya
melihat teori seperti itu saja, maka hanya melihat dari setengah dunia. Karena
separuh yang lain adalah teori bahwa segala sesuatu bersifat tetap. Tiadalah di
dunia yang bersifat tidak tetap. Masing-masing mempunyai tokohnya. Teori yang
mengenai semua yang bersifat tetap dipelopori oleh Permenides. Sedangkan teori
yang meyakini bahwa segala sesuatu di dunia selalu berubah yaitu Heraclitos.
Jika dilihat dari kacamata filsafat maka sebenarnya hidup itu adalah interaksi
antara yang tetap dan berubah. Dengan demikian kita selalu bisa mendefinisikan
apa itu hidup, berdasarkan yang ada dan yang mungkin ada. Definisi hidup dapat
diuraikan sebanyak sifat yang dimiliki oleh yang ada dan yang mungkin ada.
Contoh bahwa hidup itu tetap misalnya pada ketetapan hati seseorang dalam
meyakini agamanya, ketetapan suami dalam mencintai isterinya, dan lain-lain. Dapat
dikatakan bahwa dalam diri manusia terdapat unsur yang tetap dan berubah. Hidup
itu adalah tetap dalam perubahan, dan berubah dalam ketetapan. Kembali pada
pertanyaan awal mengenai pendapat Hawking tentang penciptaan alam semesta,
dijelaskan bahwa dalam filsafat itu tidak ada yang mutlak benar, dan tidak ada
yang mutlak salah, yang tepat adalah sesuai atau tidak sesuai dengan ruang dan
waktu. Dalam spiritual kebenaran bersifat absolut, agama adalah suatu dogma.
3.
Pertanyaan ketiga diutarakan oleh Sdr. Ricky Antonius Leohani mengenai
suatu teori yang belum kita ketahui kebenarannya namun mengapa bisa diyakini
oleh masyarakat dunia?
Pembahasan:
Seseorang sah-sah saja
untuk mempublish sebuah teori. Beberapa alasan mengapa suatu teori diyakini
oleh masyarakat secara luas bahkan mendunia, antara lain yaitu: (1) karena
teori tersebut ditulis pada buku yang kemudian digunakan sebagai bahan rujukan,
(2) karena teori tersebut dipublikasikan, (3) karena adanya sponshorship yang
berusaha menghidupkan teori tersebut, (4) karena teori tersebut memang
bermanfaat. Maka benar dikatakan di awal bahwa adab mempelajari filsafat adalah
memantapkan dimensi spiritual kita, agar tidak rapuh benteng spiritual kita
yang digunakan sebagai koridor kita dalam mempelajari filsafat. Maka jika kita
mempelajari filsafat kemudian timbul keraguan dalam diri kita akan kepercayaan
yang telah kita yakini selama ini, beristighfar lah sembari memohon pertolongan
pada Allah agar kita selalu dikuatkan iman kita.
Dalam filsafat jelas
bahwa adanya objek filsafat yaitu yang ada dan yang mungkin ada itu. Semua
merupakan wadah dan isinya. Misalnya rambut itu hitam namun sampai kiamat pun
tidak akan mungkin sama bahwa hitam itu adalah rambut karena rambut merupakan
subyek sedangkan hitam itu salah satu sifat yang menjadi predikat dari rambut
itu. Dalam sudut pandang filsafat ada dua istilah yang antara fatal dan vital. “Fatal”
adalah orang yang hanya mengandalkan hidupnya dari takdir sedangkan “Vital”
adalah orang yang hanya mengandalkan ikhtiar saja tanpa percaya akan kekuatan
doa dalam mencapai tujuan hidupnya. “Fatal” berbicara mengenai akherat
sedangkan “Vital” berbicara tentang dunia. Maka sebenar-benar hidup adalah
interaksi antara fatal dan vital. Bersikap fatal dengan berserah diri kepada
Allah SWT dengan cara berdoa dan bersikap vital dengan senantiatasa
berusaha dan berikhtiar semaksimal mungkin. Berusahalah seakan-akan kamu akan
hidup 1000 tahun lagi, serta berdoalah seakan-akan kamu akan mati besok.
4. Pertanyaan selanjutnya diungkapkan oleh Sdri. Atik Lutfi Ni’mah mengenai takdir
kematian seseorang. Apakah orang yang meninggal karena bunuh diri juga
merupakan ketetapan Allah?
Pembahasan:
Menanggapi pertanyaan
tersebut Prof. Dr Marsigit mengungkapkan bahwa cara pandang berdimensi yang
dipandang juga berdimensi kemudian diinteraksikan dengan sisi spiritual. Dalam sudut
pandang filsafat, takdir merupakan sesuatu yang sudah terjadi karena pikiran
manusia terbatas. Sementara itu pada sisi spiritual takdir terdiri dari tiga hal
yaitu kelahiran, jodoh, dan kematian. Berkaitan dengan takdir yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT ada yang bisa diubah oleh manusia dengan
ikhtiar, misalnya kita tidak pandai dalam matematika namun kita masih bisa
berusaha untuk mempelajari matematika. Sementara itu ada pula yang tidak dapat
diubah, contohnya jenis kelamin pada kelahiran seseorang. Manusia memang
sebaik-baiknya perencana, namun segala ketetapan hanyalah milik Allah SWT. Maka
meminta tolong lah hanya kepada Allah SWT.
5. Pertanyaan kelima dikemukakan kembali oleh
Sdr. Ricky Antonius Leohani mengenai
kasus poligami. Apakah semua isteri ada di dalam pikiran atau hanya satu saja
sehingga yang lain hanya sebagai modelnya saja?
Pembahasan:
Menanggapi pertanyaan
tersebut Prof.Dr Marsigit mengatakan bahwa dalam pikiran hanya ada satu wadah
yaitu istri namun isi dari wadah tersebutlah yang berisi banyaknya istri-istri
kemudian yang masing-masing punya model atau contoh-contohnya. Yang pertama
dengan contohnya tersendiri, kedua dengan contohnya tersendiri begitu pula
seterusnya.
6. Pertanyaan keenam dikemukakan oleh Sdri.
Azmi Yunianti mengenai hubungan antara filsafat dengan motivator. Karena tadi
telah disebutkan bahwa segala sesuatu itu sudah ditentukan oleh Tuhan tapi
motivasi itu punya target untuk berubah.
Pembahasan:
Menanggapi pertanyaan
di atas, Prof.Dr Marsigit menjelaskan bahwa semua yang ada di dunia ini
diciptakan secara berpasangan. Setiap yang ada dan yang mungkin ada adalah tesisnya,
kemudian anti tesisnya adalah selain yang ada dan yang mungkin ada tersebut. Ketetapan
dalam agama itu tesis maka antitesisnya adalah ikhtiar. Jika tesisnya fatal
maka antitesisnya potensi. Seorang motivator mengembangkan potensinya agar
manusia berpotensi. Maka sebenar-benar hidup adalah mau mengembangkan potensi
yang dimiliki. Berubahnya suatu potensi dari yang ada menjadi pengada melalui mengada.
Maka segala sesuatu dapat berubah jika diikhtiarkan dengan keikhlasan. Tanpa
keikhlasan semua yang kita lakukan akan sia-sia. Dapat dikatakan bahwa keikhlasan
adalah terwujudnya pengada dari yang ada menjadi mengada. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa motivator dan filosofer tidaklah bertentangan melainkan
selaras dan terangkum perbedaannya hanya dari segi pengolahan ikhtiarnya. Filosofer
lebih mengkaji dari berbagai aspek kemudian direfleksikan di berbagai
cabang-cabang ilmu contohnya matematika, psikologi, dan ilmu lainnya, sedangkan
motivator cenderung mengarah pada aspek kontrol dan kendali.
7.
Pertanyaan terakhir pada sesi kuliah ini
diutarakan oleh Sdri. Fitriani
mengenai kontradiksi. Bagaimana mensinergikan apa yang ada dalam pikiran dengan
apa yang ada di hati supaya tidak menimbulkan penyesalan.
Pembahasan:
Berdasarkan pertanyaan tersebut,
berikut penjelasan dari Prof.Dr Marsigit. Dalam filsafat ada dua prinsip, yaitu
prinsip kontradiksi dan prinsip identitas. Kodrat sunnatullah yaitu adalah
takdirnya. Menurut Imanuel Khan wadah tidak sama dengan isi, begitupun
sebaliknya. Itulah apa yang kita kenal sebagai prinsip kontradiksi. Sementara itu
prinsip yang kedua yaitu prinsip identitas. Dalam sudut pandang filsafat
prinsip identitas hanya ada di dalam pikiran. Misalnya A=A memenuhi prinsip
identitas jika masih dalam pikiran. Namun ketika sudah diucapkan maka A pertama
sudah tidak sama lagi dengan A yang kedua. Mengapa? Karena dalam filsafat
segala sesuatu terikat oleh ruang dan waktu. Yang menjadi pertanyaan adalah
kontradiksi yang seperti apa yang produktif dan kontra-produktif? Semakin
rendah posisi dalam predikat maka semakin tinggi kontradisinya. Semakin
tinggi posisi dalam predikat maka semakin rendah kontradiksinya. Hingga pada
akhirnya tiba pada kekuasaan tertinggi yaitu Allah SWT, tidak ada
kontradiksinya. Ya, Tuhan tidak mempunyai kontradiksi. Sedangkan ciptaannya lah
yang mempunyai banyak kontradiksi.
Pengetahun
ada karena adanya kontradiksi, yaitu pertarungan antara tesis dan antitesis
sehingga membentuk suatu sintesis. Pertarungan antara pengetahuan lama dengan
pengetahuan baru, pendapat yang satu dengan pendapat lainnya, tokoh yang satu
dengan tokoh yang lainnya dan seterusnya. Maka perbesarlah
kontradiksi-kontradiksi itu sehingga menimbulkan sistesis pengetahuan baru yang
berguna. Namun, sebesar-besarnya kontradiksi yang terjadi jangan sampai
kontradiksi itu turun ke hati. Jika sudah sampai turun ke hati, maka cara untuk
menyembuhkan kontradiksi yang ada di hati yaitu kembali ke jalan Allah SWT.
Filsafat
selalu mempunyai jawaban atas pertanyaan, karena akar dari filsafat itu sendiri
adalah bermula dari bertanya. Pada beberapa kasus yang kemudian diperoleh
jawaban dari sudut pandang filsafat terkadang bertentangan dengan keyakinan
kita. Namun hal tersebut bukanlah menjadi alasan untuk melemahkan keyakinan
kita. Sebaliknya, memperluas sudut pandang kita dalam menghadapi masalah. Maka tidak
heran jika adab mempelajari filsafat yang utama dan paling pertama adalah
dengan menguatkan pondasi spiritual kita. Semoga Allah yang Maha Baik selalu
memberikan kemudahan bagi kita untuk memenuhi salah satu kewajiban kita sebagai
seseorang yang beriman: menuntut ilmu. Amiin.