Senin, 28 September 2015

Filsafat Ilmu: REFLEKSI 3 Mengapa Harus Kau Kuatkan Dimensi Spiritualmu Sebelum Mengenal Filsafat


Mengapa Harus Kau Kuatkan Dimensi Spiritualmu Sebelum Mengenal Filsafat
Venti Indiani | 15709251057
Pend.Matematika PPs UNY 2015

Kembali lagi pada tulisan mengenai filsafat yang terinspirasi oleh mata kuliah Filsafat Ilmu yang disampaikan oleh Prof. Dr Marsigit,MA pada Pascasarjana Prodi Pendidikan Matematika Kelas A pada hari Selasa tanggal 22 September 2015 pukul 11.10 – 12.50 WIB di Ruang Kuliah R.305B Gedung Lama Universitas Negeri Yogyakarta.

Pada awal perkuliahan Prof. Dr Marsigit,MA selalu memberikan kesempatan bagi mahasiswanya untuk mengajukan pertanyaan apabila ada pertanyaan yang muncul setelah pertemuan pada minggu sebelumnya. Menurut saya pribadi hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam proses perkuliahan terjadi adanya komunikasi dua arah dimana antara dosen dan mahasiswa berperan aktif. Dosen tidak mendominasi kelas, namun mahasiswa diberikan kesempatan untuk mengajukan ide, gagasan, maupun pertanyaan sehingga perkuliahan lebih interaktif.

Berikut merupakan beberapa pertanyaan spontan yang diajukan oleh mahasiswa Pascasarjana Prodi Pendidikan Matematika Kelas A selama perkuliahan:
1.  Pertanyaan pertama diajukan oleh Ibu Retno Kusumadewi yaitu mengenai bagaimana menurut pandangan filsafat mengenai pemikiran peserta didik dalam proses pembelajaran, terutama pembelajaran matematika yang cenderung untuk memilih jalan yang mudah dan cara yang instan dalam menyelesaikan permasalahan matematika. Pembahasan:
Menanggapi pertanyaan di atas, Prof. Dr Marsigit,MA menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh Ibu Retno tersebut adalah berbuhungan dengan adanya budaya instan yang telah diuraiakan oleh Prof. Dr Marsigit,MA dalam tulisan Narasi Besar Politik dan Ideologi Pendidikan Dunia dan telah diunggah di situs beliau https://uny.academia.edu/MarsigitHrd. Intisari dari tulisan tersebut adalah atmosfir/kurun waktunya memang sudah waktunya seperti itu, dimana banyak pemikiran jika ada yang mudah mengapa harus mencari yang sulit. Jika bisa dipermudah mengapa harus dipersulit? Perjuangan dalam arti yang lain, “jika aku tesis, aku membuat anti-tesisnya”. Anti-tesis yang dibuat yaitu kalau bisa mengerjakan yang sulit mengapa harus mengerjakan yang mudah. Hal tersebut jelas sangat mudah diucapkan namun sangat sulit untuk dilakukan. Jika kita menguji diri kita untuk memilih antara melakukan yang mudah atau yang sulit, Prof. Dr Marsigit,MA menggambarkan bahwa dampak dari yang kita pilih itu adalah seluas dunia dan akhirat. Pun jika dilihat dari sisi psikologis, antara “mengapa harus memilih yang sulit jika ada yang mudah” dan “mengapa harus memilih yang mudah jika ada yang sulit” mempunyai dampak yang sangat jauh berbeda. Pernyataan “mengapa harus memilih yang sulit jika ada yang mudah” dilihat dari sisi psikologis kondisi tersebut mengindikasikan pelakunya cenderung dalam keadaan senang dalam zona aman dan nyaman, tidak mau meningkatkan kemampuan diri, santai, mudah menyerah, tidak ingin berkembang, tak mau bekerja keras, motivasi rendah, defensif, tidak kreatif, masa bodoh, dan lain-lain.  Sementara pernyataan “mengapa harus memilih yang mudah jika ada yang sulit” dilihat dari sisi psikologis kondisi tersebut mengindikasikan pelakunya cenderung mempunyai sifat mau berkembang, kreatif, cerdas, bekerja keras, ingin tau tinggi, motivasi tinggi, dan lain-lain. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa hidup itu adalah interaksi antara kedua pernyataan di atas. Jika menginginkan kehidupan yang lebih baik maka hijrahlah dari “mengapa harus memilih yang sulit jika ada yang mudah” ke “mengapa harus memilih yang mudah jika ada yang sulit”.
2.        Pertanyaan kedua dikemukakan oleh Sdr. Heru Tri Novi Rizki yaitu mengenai bagaimana pandangan filsafat mengenai pendapat Hawking tentang penciptaan alam semesta.
Pembahasan:
Dari pertanyaan tersebut Prof. Dr Marsigit,MA menegaskan bahwa pertanyaan tersebut mengarah pada pandangan agama tentang makhluk pertama manusia yang dikemukakan oleh Darwin adalah seekor binatang (monyet). Sementara orang mempunyai agama, dalam agama apapun percaya bahwa manusia pertama di dunia adalah manusia, yaitu Adam AS. Sedangkan Darwin membuat suatu teori evolusi mengenai hukum sebab akibat, bahwa jika manusia setiap pagi misalnya belajar terbang terus menerus, maka dalam kurun waktu bermilyar-milyar keturunan, bermilyar-milyar tahun harapannya nanti manusia mempunyai kemampuan untuk terbang. Yang demikian merupakan teori potensi atau teori pengembangan diri dan ditangkap oleh Imanuel Khan sebagai teleologi, segala macam perkiraan masuk ke dalam ilmu teleologi. Kembali lagi mengenai teori evolusi jika kembali pada filsafat bahwa segala sesuatu mengalami perubahan. Tiadalah di dunia ini yang tidak mengalami perubahan. Jika hanya melihat teori seperti itu saja, maka hanya melihat dari setengah dunia. Karena separuh yang lain adalah teori bahwa segala sesuatu bersifat tetap. Tiadalah di dunia yang bersifat tidak tetap. Masing-masing mempunyai tokohnya. Teori yang mengenai semua yang bersifat tetap dipelopori oleh Permenides. Sedangkan teori yang meyakini bahwa segala sesuatu di dunia selalu berubah yaitu Heraclitos. Jika dilihat dari kacamata filsafat maka sebenarnya hidup itu adalah interaksi antara yang tetap dan berubah. Dengan demikian kita selalu bisa mendefinisikan apa itu hidup, berdasarkan yang ada dan yang mungkin ada. Definisi hidup dapat diuraikan sebanyak sifat yang dimiliki oleh yang ada dan yang mungkin ada. Contoh bahwa hidup itu tetap misalnya pada ketetapan hati seseorang dalam meyakini agamanya, ketetapan suami dalam mencintai isterinya, dan lain-lain. Dapat dikatakan bahwa dalam diri manusia terdapat unsur yang tetap dan berubah. Hidup itu adalah tetap dalam perubahan, dan berubah dalam ketetapan. Kembali pada pertanyaan awal mengenai pendapat Hawking tentang penciptaan alam semesta, dijelaskan bahwa dalam filsafat itu tidak ada yang mutlak benar, dan tidak ada yang mutlak salah, yang tepat adalah sesuai atau tidak sesuai dengan ruang dan waktu. Dalam spiritual kebenaran bersifat absolut, agama adalah suatu dogma.
3.        Pertanyaan ketiga diutarakan oleh Sdr. Ricky Antonius Leohani mengenai suatu teori yang belum kita ketahui kebenarannya namun mengapa bisa diyakini oleh masyarakat dunia?
Pembahasan:
Seseorang sah-sah saja untuk mempublish sebuah teori. Beberapa alasan mengapa suatu teori diyakini oleh masyarakat secara luas bahkan mendunia, antara lain yaitu: (1) karena teori tersebut ditulis pada buku yang kemudian digunakan sebagai bahan rujukan, (2) karena teori tersebut dipublikasikan, (3) karena adanya sponshorship yang berusaha menghidupkan teori tersebut, (4) karena teori tersebut memang bermanfaat. Maka benar dikatakan di awal bahwa adab mempelajari filsafat adalah memantapkan dimensi spiritual kita, agar tidak rapuh benteng spiritual kita yang digunakan sebagai koridor kita dalam mempelajari filsafat. Maka jika kita mempelajari filsafat kemudian timbul keraguan dalam diri kita akan kepercayaan yang telah kita yakini selama ini, beristighfar lah sembari memohon pertolongan pada Allah agar kita selalu dikuatkan iman kita.
Dalam filsafat jelas bahwa adanya objek filsafat yaitu yang ada dan yang mungkin ada itu. Semua merupakan wadah dan isinya. Misalnya rambut itu hitam namun sampai kiamat pun tidak akan mungkin sama bahwa hitam itu adalah rambut karena rambut merupakan subyek sedangkan hitam itu salah satu sifat yang menjadi predikat dari rambut itu. Dalam sudut pandang filsafat ada dua istilah yang antara fatal dan vital. “Fatal” adalah orang yang hanya mengandalkan hidupnya dari takdir sedangkan “Vital” adalah orang yang hanya mengandalkan ikhtiar saja tanpa percaya akan kekuatan doa dalam mencapai tujuan hidupnya. “Fatal” berbicara mengenai akherat sedangkan “Vital” berbicara tentang dunia. Maka sebenar-benar hidup adalah interaksi antara fatal dan vital. Bersikap fatal dengan berserah diri kepada Allah SWT dengan cara  berdoa dan bersikap vital dengan senantiatasa berusaha dan berikhtiar semaksimal mungkin. Berusahalah seakan-akan kamu akan hidup 1000 tahun lagi, serta berdoalah seakan-akan kamu akan mati besok. 
4.      Pertanyaan selanjutnya diungkapkan oleh Sdri. Atik Lutfi Ni’mah mengenai takdir kematian seseorang. Apakah orang yang meninggal karena bunuh diri juga merupakan ketetapan Allah?
Pembahasan:
Menanggapi pertanyaan tersebut Prof. Dr Marsigit mengungkapkan bahwa cara pandang berdimensi yang dipandang juga berdimensi kemudian diinteraksikan dengan sisi spiritual. Dalam sudut pandang filsafat, takdir merupakan sesuatu yang sudah terjadi karena pikiran manusia terbatas. Sementara itu pada sisi spiritual takdir terdiri dari tiga hal yaitu kelahiran, jodoh, dan kematian.  Berkaitan dengan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah SWT ada yang bisa diubah oleh manusia dengan ikhtiar, misalnya kita tidak pandai dalam matematika namun kita masih bisa berusaha untuk mempelajari matematika. Sementara itu ada pula yang tidak dapat diubah, contohnya jenis kelamin pada kelahiran seseorang. Manusia memang sebaik-baiknya perencana, namun segala ketetapan hanyalah milik Allah SWT. Maka meminta tolong lah hanya kepada Allah SWT.
5.       Pertanyaan kelima dikemukakan kembali oleh Sdr. Ricky Antonius Leohani mengenai kasus poligami. Apakah semua isteri ada di dalam pikiran atau hanya satu saja sehingga yang lain hanya sebagai modelnya saja?
Pembahasan:
Menanggapi pertanyaan tersebut Prof.Dr Marsigit mengatakan bahwa dalam pikiran hanya ada satu wadah yaitu istri namun isi dari wadah tersebutlah yang berisi banyaknya istri-istri kemudian yang masing-masing punya model atau contoh-contohnya. Yang pertama dengan contohnya tersendiri, kedua dengan contohnya tersendiri begitu pula seterusnya.
6.     Pertanyaan keenam dikemukakan oleh Sdri. Azmi Yunianti mengenai hubungan antara filsafat dengan motivator. Karena tadi telah disebutkan bahwa segala sesuatu itu sudah ditentukan oleh Tuhan tapi motivasi itu punya target untuk berubah.
Pembahasan:
Menanggapi pertanyaan di atas, Prof.Dr Marsigit menjelaskan bahwa semua yang ada di dunia ini diciptakan secara berpasangan. Setiap yang ada dan yang mungkin ada adalah tesisnya, kemudian anti tesisnya adalah selain yang ada dan yang mungkin ada tersebut. Ketetapan dalam agama itu tesis maka antitesisnya adalah ikhtiar. Jika tesisnya fatal maka antitesisnya potensi. Seorang motivator mengembangkan potensinya agar manusia berpotensi. Maka sebenar-benar hidup adalah mau mengembangkan potensi yang dimiliki. Berubahnya suatu potensi dari yang ada menjadi pengada melalui mengada. Maka segala sesuatu dapat berubah jika diikhtiarkan dengan keikhlasan. Tanpa keikhlasan semua yang kita lakukan akan sia-sia. Dapat dikatakan bahwa keikhlasan adalah terwujudnya pengada dari yang ada  menjadi mengada.  Sehingga dapat disimpulkan bahwa motivator dan filosofer tidaklah bertentangan melainkan selaras dan terangkum perbedaannya hanya dari segi pengolahan ikhtiarnya. Filosofer lebih mengkaji dari berbagai aspek kemudian direfleksikan di berbagai cabang-cabang ilmu contohnya matematika, psikologi, dan ilmu lainnya, sedangkan motivator cenderung mengarah pada aspek kontrol dan kendali.
7.        Pertanyaan terakhir pada sesi kuliah ini diutarakan oleh Sdri. Fitriani mengenai kontradiksi. Bagaimana mensinergikan apa yang ada dalam pikiran dengan apa yang ada di hati supaya tidak menimbulkan penyesalan.
Pembahasan:
Berdasarkan pertanyaan tersebut, berikut penjelasan dari Prof.Dr Marsigit. Dalam filsafat ada dua prinsip, yaitu prinsip kontradiksi dan prinsip identitas. Kodrat sunnatullah yaitu adalah takdirnya. Menurut Imanuel Khan wadah tidak sama dengan isi, begitupun sebaliknya. Itulah apa yang kita kenal sebagai prinsip kontradiksi. Sementara itu prinsip yang kedua yaitu prinsip identitas. Dalam sudut pandang filsafat prinsip identitas hanya ada di dalam pikiran. Misalnya A=A memenuhi prinsip identitas jika masih dalam pikiran. Namun ketika sudah diucapkan maka A pertama sudah tidak sama lagi dengan A yang kedua. Mengapa? Karena dalam filsafat segala sesuatu terikat oleh ruang dan waktu. Yang menjadi pertanyaan adalah kontradiksi yang seperti apa yang produktif dan kontra-produktif? Semakin rendah  posisi dalam predikat maka semakin tinggi kontradisinya. Semakin tinggi posisi dalam predikat maka semakin rendah kontradiksinya. Hingga pada akhirnya tiba pada kekuasaan tertinggi yaitu Allah SWT, tidak ada kontradiksinya. Ya, Tuhan tidak mempunyai kontradiksi. Sedangkan ciptaannya lah yang mempunyai banyak kontradiksi.

Pengetahun ada karena adanya kontradiksi, yaitu pertarungan antara tesis dan antitesis sehingga membentuk suatu sintesis. Pertarungan antara pengetahuan lama dengan pengetahuan baru, pendapat yang satu dengan pendapat lainnya, tokoh yang satu dengan tokoh yang lainnya dan seterusnya. Maka perbesarlah kontradiksi-kontradiksi itu sehingga menimbulkan sistesis pengetahuan baru yang berguna. Namun, sebesar-besarnya kontradiksi yang terjadi jangan sampai kontradiksi itu turun ke hati. Jika sudah sampai turun ke hati, maka cara untuk menyembuhkan kontradiksi yang ada di hati yaitu kembali ke jalan Allah SWT.

Filsafat selalu mempunyai jawaban atas pertanyaan, karena akar dari filsafat itu sendiri adalah bermula dari bertanya. Pada beberapa kasus yang kemudian diperoleh jawaban dari sudut pandang filsafat terkadang bertentangan dengan keyakinan kita. Namun hal tersebut bukanlah menjadi alasan untuk melemahkan keyakinan kita. Sebaliknya, memperluas sudut pandang kita dalam menghadapi masalah. Maka tidak heran jika adab mempelajari filsafat yang utama dan paling pertama adalah dengan menguatkan pondasi spiritual kita. Semoga Allah yang Maha Baik selalu memberikan kemudahan bagi kita untuk memenuhi salah satu kewajiban kita sebagai seseorang yang beriman: menuntut ilmu. Amiin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar